Kinerja Tata Niaga dan Inflasi Sepanjang 2022
Inflasi yang terjaga di tengah fluktuasi ekonomi global sepanjang tahun 2022, adalah capaian ciamik Indonesia sepanjang sejarah. Hal tersebut tak luput dari tiga aspek penting dari bauran kebijakan (mixing policy) pemerintah. Baik dari sisi moneter, fiskal dan tata niaga—dalam hal ini, kinerja kementerian perdagangan dalam menjaga pasokan kebutuhan pokok masyarakat dalam negeri.
Bidiknews24.com, Jakarta - Inflasi yang terjaga di tengah fluktuasi ekonomi global sepanjang tahun 2022, adalah capaian ciamik Indonesia sepanjang sejarah. Hal tersebut tak luput dari tiga aspek penting dari bauran kebijakan (mixing policy) pemerintah. Baik dari sisi moneter, fiskal dan tata niaga—dalam hal ini, kinerja kementerian perdagangan dalam menjaga pasokan kebutuhan pokok masyarakat dalam negeri.
Mari kita lihat faktor-faktor penyebab inflasi sepanjang 2022. Pertama, faktor geopolitik. Invasi militer Rusia Ukraina yang terjadi sepanjang 2022, menjadi salah satu faktor disrupsi supply chain global. Terutama harga energi yang terkerek hingga di atas USD 100/barrel, ketika Rusia membatasi supply energi primer ke kawasan negara penantang invasinya ke Ukraina.
Baca juga: Berkayuh Menuju Asa 2023
Advertisement
Hal ini berimpak pada permintaan terhadap energi minyak fosil yang tinggi secara global. Bila negara maju memiliki size output PDB yang besar, otomatis, memantik permintaan minyak yang tinggi sebagai input. Inilah yang penyebab terkereknya harga minyak dunia,
Namun ada blessing in disguise di balik terkereknya minyak mentah dunia. Dampaknya, permintaan terhadap ekspor batubara meningkat, yang berdampak pada harga emas hitam ini. Walhasil, dari sinilah, bonanza ekspor komoditas terjadi. Indonesia ketiban durian runtuh. Windfall ekspor komoditas yang menyebabkan trade balance RI surplus 32 bulan berturut-turut sepanjang hingga 2022.
Namun sebagai negara net importer minyak, kenaikan international crude price tersebut, berdampak pada asumsi harga minyak atau Indonesia Crude Price (ICP.) Dalam APBN reguler 2022, asumsi ICP sebesar USD 63/barrel. Deviasi global crude price dan ICP yang lebar, berimpak pada terkereknya beban subsidi dalam APBN.