Ketidakpastian Yang Belum Pasti
Oleh: Munir Sara ( Tenaga Ahli DPR RI)
Kala seorang dara digantung cintanya, membiarkannya terjebak dalam rasa Baper dalam ketidakpastian yang tak berkesudahan, maka itulah yang namanya terjebak dalam ketidakpastian. Ketidakpastian yang belum pasti; kapan berakhirnya.
Mantan Menkeu AS, Willian H Woodin(1933) pernah berkata, hubungan inflasi dan ekonomi, bak antara cinta dan benci. Kita membenci inflasi, tapi mencintai hal-hal yang menyebakannya.
Antara cinta dan benci pada inflasi itulah, ketidakpastian terjadi. Membenci inflasi, tapi membiarkan banjir likuiditas melalui kebijakan quantitative eassing (QE) berlangsung, seolah-sulit disetop. Membenci inflasi global, tapi memprovokasi perang Rusia-Ukraiana dan seterusnya, yang berhujung pada rusaknya rantai pasok global
Yang dibutuhkan dalam ketidakpastian itu adalah stabilisasi. Bak seorang dara, jangan biarkan ia luka terlalu dalam. Biarkan ia nyaman dalam kestabilan, sembari mencari jalan kepastian.
Dalam jebakan ketidakpastian (uncertainty trapped) itulah, ekonomi dunia menjadi getas. Ketimpangan global menganga. Negara kuat bertahan dan tambah kuat, negara-negara duafah malah terkaing-kaing.
Perkiraanku, ekspektasi terhadap inflasi AS yang masi tinggi atau masih jauh dari sasaran 2%, membuka ruang ekspektasi terhadap naiknya Fed Fund Rate/FFR.
Ini memantik investor asing melakukan aksi jual pada saham-saham Big Cap (blue Chip) yang sudah cuan untuk di alihkan ke AS treasure dan produk derivatif dengan underline US$.
Hal ini terlihat dari penurunan yield AS treasury bond yang turun, akibat tingginya permintaan. Namun sejauh ekspektasi terhadap naiknya FFR masih terjadi, SBN di AS masih tetap seksi.
Jika kita pantau bursa IHSG per 10/Des/2022, sudah terjadi aksi jual bersih atas saham-saham investor asing di pasar domestik pada saham-saham Big Cap dengan valuasi Rp.8,6 Triliun.
Sejauh inflasi AS yang masih timpang dari sasaran (2%), ekspektasi terhadap FFR dan imbal hasil AS treasury yang masih tinggi, maka selama itu pula berdampak pada ekonomi Indonesia.
Secara teknikal, hengkangnya modal asing ke pasar obligasi AS, membuat apresiasi terhadap US$ kian tinggi, sebaliknya memicu depresiasi rupiah.
Untuk menggerakkan ekspansi ekonomi, baik pemerintah maupun swasta membutuhkan bantalan likuiditas. Salah satu caranya adalah menggali dana publik di pasar ekuitas.
Namun dengan kondisi seperti penulis uraikan, maka ini menjadi pemicu terbatasnya pergerakan roda ekonomi. Inilah yang menjadi kekhawatiran semua pihak di tahun 2023.
Dus, Indonesia masih punya antibody yang kuat dengan kondisi fundamental yang relatif baik bila dibandingkan dengan negara-negara peer.
Namun yang pertanyaannya, seberapa kuat fundamental RI menghadapi ketidakpastian global, yang kapan berakhirnya pun sulit diprediksi? Ketidakpastian yang belum pasti kapan berakhirnya
Inilah yang menuntut agar resiliensi yang dipunyai ini dapat dikelola dan dipertahankan secara sustain. Dengan pengertian pengelolaan fiskal dan moneter yang resiliensinya sustain terhadap ketidakpastian ekonomi global.
Burden sharing (BS) Kemenkeu dan BI pun burden sharing Pemerintah pusat dan daerah, dipandang sebagai cara mendesentralisasi beban. Agar tak semuanya ada di pundak Menkeu.
Namun kebijakan ini perlu mendapatkan assessment yang baik. Bahwa seberapa besar BS tersebut masuk ke dalam ekonomi riil kita berbasis padat karya? Pula, seberapa besar BS tersebut dapat menstabilisasi inflasi?
BS antara Pempus dan Pemda, semisal pemangkasan DAU/DAK 2% untuk stabilisasi di daerah, pun harus mendapatkan assessment, agar diketahui, seberapa besar instrument fiskal tersebut mampu memperkuat resiliensi daerah.
Yang dibutuhkan adalah stabilisasi dari semua inovasi kebijakan, baik fiskal dan moneter. Agar dalam ketidakpastian itu kestabilan terjadi. Agar tak terlalu dalam, terluka dalam ketidakpastian.