Jalan Pintas Jokowi Dalam UU Omnibus Law Ciptaker

Jalan Pintas Jokowi Dalam UU Omnibus Law Ciptaker
Foto: Presiden Joko Widodo

BidikNews24.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo mengambil jalan pintas untuk menggugurkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memvonis UU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) inkonstitusional pada November 2021 lalu.

Pemerintah padahal masih memiliki waktu setahun lagi untuk memperbaiki UU tersebut lewat DPR. Namun, langkah itu diabaikan dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Ciptaker.


Dilansir CNN Indonesia rabu, (4/01/2022), Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Ciptaker itu otomatis akan menggantikan UU Ciptaker yang dinyatakan inkonstitusional karena cacat formil penyusunan maupun materiil.

"Ancaman-ancaman risiko ketidakpastian itulah yang menyebabkan kita mengeluarkan Perppu," ucap Jokowi dalam pertimbangan penerbitan Perppu tersebut, Jumat (30/12).

Pakar hukum Universitas Mulawarman Makassar, Herdiansyah Hamzah menilai Perppu Ciptaker sebagai bentuk pembangkangan dan penghinaan terhadap putusan MK. Pemerintah telah membajak hak Publik untuk mendengarkan, mempertimbangkan, dan mendapatkan penjelasan.

Menurut Castro, sapaan akrabnya, pemerintah untuk kesekian kali menunjukkan kebiasaan buruknya membuat produk dengan menghindari pengawasan publik. Pemerintah mengabaikan syarat partisipasi yang diserukan MK.

"Ibarat hal yang sudah diharamkan oleh MK, malah dipaksakan halal melalui Perppu. Ini kan konyol sekaligus menggelikan," kata Castro, Senin (2/1).

Castro menilai dasar pengeluaran Perppu tersebut juga tak masuk akal. Menurutnya, tak ada syarat kondisi mendesak sehingga Perppu harus diterbitkan seperti diatur dalam Putusan MK 138 tahun 2009. Menurut dia, pemerintah hanya memaksa kegentingan demi kepentingan pemodal dan investor.

"Jadi Perppu itu memang dibuat hanya untuk mengamankan lapak bisnis para oligarki, bukan untuk kepentingan rakyat banyak," kata dia.

Ciri Rezim saat ini

Castro menilai sulit untuk tak menganggap rezim kali ini sebagai rezim otoritarian. Ciri rezim otoritarian adalah kerap mengabaikan rakat dalam pengambilan keputusan.

Pemerintah merasa tak perlu persetujuan dari rakyat untuk memutuskan hal-hal strategis. Dan hal itu tercermin dalam penerbitan Perppu Ciptaker.

"Tidak memerlukan persetujuan (consent) dalam memutuskan hal-hal strategis. Dalam itu terkonfirmasi dari bagaimana Perppu ini dibuat," katanya.

Direktur Eksekutif Survei KedaiKOPI, Kunto Adi Wibowo mengingatkan bahwa penerbitan Perppu Ciptaker bukan isu main-main. Adi meyakini isu Perppu Ciptaker merupakan isu besar yang akan memancing reaksi dari publik secara luas.

Menurut Adi, isu Perppu Ciptaker bahkan tak sama dengan isu pengesahan KUHP beberapa waktu lalu. Isu Ciptaker diprediksi akan lebih memancing kegaduhan politik yang tak akan diharapkan oleh Presiden.

Adi khawatir, jika isu tersebut akan dimanfaatkan oleh para pihak atau partai oposisi untuk menggoyang posisi pemerintah.

"Apalagi ini terkait dengan penghidupan orang banyak. Tentang nasib buruh, pekerja, baik itu pekerja swasta maupun pekerja lepas. Jadi menurut saya isu ini lebih kena ke perut rakyat, daripada KUHP kemarin," kata Adi, Senin (2/1).

Di sisi lain, Adi turut meyakini penerbitan Perppu ini akan berdampak serius terkait kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Ketimbang KUHP, Perppu Ciptaker lebih relevan dengan kehidupan masyarakat secara umum.

Adi heran pemerintah kini mulai berani mengambil kebijakan yang tak populis dan bertentangan dengan kehendak rakyat. Usai KUHP, kini pemerintah dengan percaya diri menerbitkan Perppu Ciptaker.

"Kita lihat saja dinamika terutama arus bawah terutama dengan penerbitan Perppu ini. Kemungkinannya akan besar penolakan yang masif di masyarakat, karena ini terkait isu penghidupan mereka," katanya.

(Marthinez/BN24)