Impak Rezim Devisa Bebas?

Impak Rezim Devisa Bebas?
Foto: Munir Sara (Tenaga Ahli DPR RI)

Oleh : Munir Sara (Tenaga Ahli DPR RI)

Dalam dua bulan ini, kekhawatiran akan likuditas valas mengemuka. Padahal, bersamaan dengannya net export kita surplus 31 bulan berturut-turut.

Dengan surplus trade balance tersebut, devisa hasil ekspor (DHE) sejatinya bisa menjadi salah satu tools untuk menjangkar stabilitas kurs, namun harapan akan hal itu, bak jauh panggang dari api !

Memang bukan cuma DHE sebagai sumber valas di pasar valas domestik. Tapi seiring sentimen Fed Fun Rate (FFR), arus modal asing yang keluar (foreign capital outflow) menjadi pemicu seretnya likuiditas di pasar valas domestik. 

Kembali ke pokok soal. Sulitnya repatriasi DHE ke Indonesia, menuai diskusi, bahwa sistem devisa kita terlalu bebas  (free exchange regime). Tidak seperti negara lain yang menganut rezim devisa terkendali ( controlled foreign exchange regime).

Dampaknya, keluar masuknya arus valas menjadi unregulated. Berakibat pada keringnya likuiditas valas. Dengan surplus trade balance 31 bulan beruntun itu, mestinya mendorong demand atas rupiah, namun tak terjadi sebagaimana mesti. 

Kenyataannya, dari 81% DHE, yang repatriasi hanya 15%. Lalu kemana 66%? Ya parkir di bank asing. Alasannya? Karena bank luar menawarkan insentif bunga yang menarik. Di sisi lain, foreign exchange mereka yang relatif terkendali, membuat DHE yang parkir tidak tergerus nilainya. 

Pasal itulah yang membuat, dua bulan ini pemerintah dan Bank Sentral putar otak, agar bagaimana caranya DHE itu betah parkir di tanah air. Tentu harus melalui regulasi dan insentif. 

Selain itu, terbersitlah pikiran, bahwa masih tepatkah kita menganut rezim devisa bebas murni. Ataukah mixing antara devisa bebas dan terkendali? Dalam rangka memperkuat fundamental kurs rupiah. 

Undang-Undang mengenai Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar diatur di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999. Di dalam UU tersebut, pemerintah memberlakukan rezim devisa bebas.

Tentu hal ini penting, karena stabilitas rupiah dan fundamentalnya adalah salah satu indikator makro Indonesia. Apalagi, selama siklus ketidakpastian ekonomi global terjadi, sepanjang itu pula risko volatilitas rupiah makin nyata. 

Dus, rezim devisa bebas yang dibuat sejak 1998 tersebut, patut dikaji kembali, masih pantaskah, atau dimoderasi dengan sedikit terkontrol/terkendali. 

Berita dua hari ini terkait perang bunga di pasar valas, antara RI dan Singapura memantik perhatian. Bila tak cepat dimitigasi dengan regulasi yang presisi, maka kekeringan di pasar likuditas valas domestik akan terjadi dan itu berisiko bagi makro ekononi RI. 

Sebelum lebih vatal risikonya, pemerintah dan BI perlu mengambil langkah cepat. Sebelum senuanya terlambat. Semoga !

(Marthinez/BN24)